| |
BANDUNG - Kampung Naga, dari namanya terdengar gagah karena terbayang sosok seekor naga. Salah besar. Kampung Naga berasal dari kota “kampung na gawir” alias kalau dalam bahasa Indonesia memiliki arti “kampung di jurang”. Kampung Naga memang kalau d ilihat dari jalan seakan-akan terletak didasar jurang, padahal sebenarnya kampung itu terletak di sebuah lembah yang subur karena memang warga Kampung Naga secara sadar menjaga keseimbangan lingkungan kampungnya.
Kampung Naga terletak di atas lahan tanah seluas kurang lebih satu setengah hektar yang terdiri dari perumahan, ladang, kolam dan sawah. Perjalanan menuju Kampung Naga ini pengunjung diharuskan menuruni kurang lebih 350 anak tangga dengan kemiringan 40 derajat dan setelah itu menyusuri sungai Ciwulan sebelum tiba di pemukiman.
Masyarakat Kampung Naga mengaku telah menetap di daerah itu hampir selama 600 tahun dan sampai sekarang mereka masih memegang kuat aturan dari leluhur mereka walaupun modernisasi sudah terjadi dimana-mana. Keputusan mereka untuk tetap mengikuti peraturan dari leluhur telah menjadikan Kampung Naga sebuah kampung yang ramah lingkungan.
Salah satu peraturan leluhur yang mereka sangat jaga adalah soal dua hutan lindung yang ada di kiri dan kanan Kampung Naga. Salah satu hutan itu merupakan lokasi makam leluhur mereka, Sembah Eyang Singaparna dan hanya pada hari-hari tertentu saja hutan itu boleh dimasuki oleh masyarakat Kampung Naga yang lelaki. Sementara hutan lindung yang satu lagi sama sekali tidk boleh dimasuki siapapun juga. Seiring dengan kemajuan zaman, masyarakat Kampung Naga sekarang menyadari bahwa adat istiadat menjaga hutan lindung telah menyelamatkan kampung mereka dari banyak hal, seperti kekeringan, tanah longsor, banjir dan berbagai bencana lingkungan.
Selain itu, mereka juga menanam padi tanpa menggunakan pestisida sama sekali dan semua padi yang mereka tanam merupakan varietas padi yang sudah punah di daerah Indonesia lainnya. Sayang sekali, adat mereka tidak memperkenankan padi itu untuk di jual dan hanya untuk dikonsumsi penduduk Kampung Naga. Warga Kampung Naga sendiri diperbolehkan mencari uang dengan menjual barang kerajinan atau makanan olahan.
Kampung Sosialis Tradisional
Adat istiadat yang masih dipegang oleh masyarakat Kampung Naga kalau diberlakukan di zaman sekarang bisa dibilang mereka adalah kampung sosialis yang tradisional. Mereka sangat menjaga agar tidak terjadi perbedaan, yang akan menyebabkan rasa iri dan akan mengganggu kedamaian warga, sehingga dengan tulus masyarakat yang berdiam di sana tinggal di rumah yang bentuknya, besarnya, bahan bakunya, bahkan sampai warna catnya sama. Selain itu, untuk ukuran modern rumah mereka bisa dibilang kosong kecuali untuk tungku tradisional yang ada di dapur.
Konsep furnitur yang buat masyarakat modern merupakan suatu kebutuhan yang tidak terpisahkan, buat masyarakat Kampung Naga malah menyebabkan kekikukan. Kursi buat mereka akan menyebabkan sang tuan rumah tidak menjamu tamunya dengan baik, sebab jika rumahnya kedatangan sanak saudara sampai 20 orang, maka tidak akan semua dapat duduk di kursi. Tidak sopan. Untuk menyelesaikan masalah terselesaikan dengan sangat sederhananya. Oleh karena itu, paling hanya lemari pakaian yang bisa ditemukan dalam rumah penduduk Kampung Naga. Penduduk Kampung Naga sangat percaya bahwa hidup itu yang penting cukup, tidak usah berlebihan dan damai. Oleh karena itu, jangan berharap akan menemukan rumah penduduk Kampung Naga yang terkunci.
Kampung Tradisional yang “Banyak Akal”
Memasuki wilayah Kampung Naga memang terasa sekali perbedaannya dengan kampung lain di Indonesia. Salah satu yang paling mencolok adalah kebersihannya.
Sebelum pengunjung masuk ke daerah perumahan, maka lapisan terluar adalah sawah, setelah itu masuk dalam daerah “kotor”. Yang dimaksud daerah “kotor” adalah kandang hewan, kolam ikan, wilayah pancuran mandi dan jamban. Semuanya itu terletak di atas kolam. Sama sekali tidak ada bau tidak enak, mungkin karena jelas bahwa tidak ada air yang tidak mengalir dan tidak ada pancuran yang kering. Sampah yang dihasilkan warga kampung kebanyakan adalah sampah organik yang kemudian jadi santapan ikan atau kompos, sementara sampah ikan organik kering mereka bakar di bantaran kali yang abunya dipakai sebagai pupuk untuk sawah. Hampir bisa dibilang tidak ada plastik.
Masuk dalam kawasan perumahan, maka akan terlihat jajaran rumah kayu yang dikapur putih dengan dua pintu. Salah stu pintunya terbuat dari kombinasi anyaman dan kayu, maka pintu itu adalah pintu dapur. Anyaman yang dipergunakan adalah anyaman khusus yang membuat penghuni ketika siang hari bisa melihat kedalam dapur. Hal sederhana ini diperuntukan untuk menjaga bahaya kebakaran dari tungku dapur di malam hari. Tentu saja hal ini dimungkinkan, sebab sampai sekarang listrik tidak masuk ke Kampung Naga. Alasannya sederhana, rumah mereka terbuat dari bahan yang sangat mudah terbakar dan mereka khawatir aliran listrik yang korslet akan dengan mudah membakar seluruh kampung.