MALAM itu, awal 2000, Verry Budiyanto, 39, tengah menempuh perjalanan pulang dari kantor menuju rumahnya di Meruya Ilir, Jakarta Barat. Seperti biasa, laki-laki yang bekerja di perusahaan multinasional berbendera Amerika Serikat itu menyetir mobilnya sendirian. Saat menyusuri jalan tol, tiba-tiba Verry dikejutkan debar jantungnya yang tiba-tiba menjadi lebih kencang daripada biasanya, keringat dingin mengucur, tubuh terasa goyah, dan pandangan berputar-putar. Ia segera meminggirkan mobilnya dan berhenti. Tiga menit kemudian, barulah kondisinya kembali normal. Ia pun meneruskan perjalanannya kembali.
Semula, Verry menganggap kejadian itu sebagai peristiwa sesaat yang tidak akan terulang. Namun dugaannya salah. Kejadian itu terus berulang di hari-hari selanjutnya pada waktu, lokasi, dan situasi berbeda-beda yang tak pernah bisa disangka-sangka.
Kadang terjadi di jalan, di kantor, di mal, dan di dalam lift. Terang saja Verry menjadi risau. Tiap saat ia cemas kejadian itu terulang lagi. Pekerjaannya sebagai seorang pemasar (marketer) pun terganggu.
Karena didorong rasa penasaran dan takut, Verry kemudian memeriksakan diri ke spesialis penyakit dalam (internist) di sebuah rumah sakit ternama. Ia didiagnosis menderita hipertensi dan sedikit gangguan psikis. Ia diterapi dengan obat-obatan. Namun, setelah beberapa bulan hasilnya nihil. Ia beralih kepada internist lain, namun lagi-lagi usahanya gagal.
Setahun berlalu, Verry terus mengalami kejadian tak mengenakkan tersebut. Keputusasaan dan kebingungan mendera Verry dan keluarganya. Ayah dua anak itu bahkan sempat diduga terkena guna-guna dan menjalani pengobatan alternatif.
Di tengah rasa depresi, Verry mencoba mencari informasi seputar kondisinya di internet. Ia mendapati kejadian yang dialaminya mungkin berkaitan dengan gangguan kejiwaan. Berbekal informasi tersebut, Verry memeriksakan diri kepada psikiater. Awalnya, ia didiagnosis menderita kelainan jiwa jenis obsessive compulsive disorder (OCD) dan menjalani terapi. Sayang, upaya tersebut juga tak membawa hasil. Kejadian aneh itu masih terus dialami Verry, bahkan frekuensinya semakin meningkat, kadang sampai enam kali kejadian dalam sehari. Verry pun mencoba memeriksakan diri pada psikiater lain, namun tak juga berhasil.
Begitulah, Verry terus mencoba memeriksakan diri pada psikiater-psikiater lain. Sampai akhirnya ia bertemu dengan psikiater keempat yang mendiagnosisnya menderita gangguan panik atau serangan panik. Ia kemudian menjalani terapi obat-obatan, mengubah pandangan, dan perilaku hidup serta akhirnya berhasil pulih.
''Ya, setelah berganti-ganti dokter, akhirnya penyakit saya bisa diobati. Saya sangat bersyukur bisa terbebas dari gangguan tersebut. Selama mengalaminya, saya sangat tersiksa hingga membuat saya sering berpikir untuk bunuh diri,'' ujar Verry , pekan lalu di Jakarta.
Enggan di keramaian
Itulah kisah Verry, salah satu penderita gangguan panik yang berhasil sembuh dan hidup normal lagi. Gangguan panik, menurut psikiater dari Sanatorium Dharmawangsa, dr Dharmady Agus, adalah sebuah gangguan kejiwaan yang dicirikan dengan beberapa gejala. Antara lain, jantung berdebar lebih kuat secara tiba-tiba, palpitasi atau peningkatan frekuensi degup jantung, berkeringat, gemetar, mual, sesak nafas, perasaan tercekik, nyeri dada, pusing, bergoyang, melayang, merasa mau pingsan, dan takut kehilangan kendali.
''Gangguan ini dialami sekitar 7% dari populasi umum dan banyak menimpa kalangan dewasa muda,'' ungkap dr Dharmady.
Gejala-gejala yang menyertai gangguan panik, lanjut dr Dharmady, membuat penderita sering kali menyangka dirinya terkena serangan jantung. Begitu mendapat serangan, mereka datang ke unit gawat darurat rumah sakit dan mengeluh terkena serangan jantung. Namun setelah diperiksa, kondisi jantungnya baik-baik saja.
Seperti yang dituturkan Verry, serangan gangguan panik merupakan satu hal yang sangat mengerikan bagi penderitanya. ''Begitu mengalaminya sekali, seseorang menjadi khawatir serangan itu datang lagi. Sepanjang waktu penderita mencoba mengantisipasi datangnya serangan tersebut. Pemikiran tersebut sering kali justru memicu munculnya serangan,'' tambah dr Dharmady.
Sebagian penderita gangguan panik, lanjutnya, cenderung enggan berada di area publik yang ramai, seperti di mal, bandara, dan arena pertunjukan. Sebab, tempat semacam itu dinilai akan menyulitkan diri penderita dalam mencari pertolongan bila gangguan panik tiba-tiba menyerangnya.
''Ini disebut agorafobia atau takut pada keramaian,'' kata dr Dharmady.
Bila berada dalam sebuah ruang, penderita cenderung untuk memilih tempat duduk yang dekat dengan pintu agar mudah keluar bila sewaktu-waktu serangan panik datang. Dalam kondisi ekstrem, penderita sering kali menolak bepergian kecuali ada yang menemaninya.
Meski tidak menimbulkan kematian secara langsung, gangguan panik sangat mengganggu penderitanya. Penderita bahkan bisa menjadi depresi sehingga kondisinya semakin parah.
Karena itu, jelas dr Dharmady, gangguan panik harus segera diobati. Bila dibiarkan begitu saja, bisa menjadi kronis/menahun dan lebih sulit dipulihkan. Pengobatan gangguan panik dilakukan bisa dilakukan melalui terapi farmakologis (dengan obat-obatan) maupun psikologis.
Lebih lanjut, dr Dharmady menjelaskan sejumlah penelitian menyebutkan gangguan panik berhubungan dengan trauma perpisahan terhadap orang yang sangat dicintai pada masa kecil. Seperti, pengalaman diculik atau tak sengaja terpisah dengan orang tua (banyak terjadi di mal-mal). Gangguan panik umumnya menyerang orang-orang yang kepribadiannya kaku, sering stres dan tegang serta kurang bisa menyikapi permasalahan hidup dengan rileks.
Untuk itu, terapi psikologik diberikan dengan mengubah pandangan dan perilaku hidup penderita. Cara itulah yang dijalani Verry.
''Saat ini saya sering bermeditasi, banyak membaca, dan mendalami spiritualisme. Dengan begitu, saya merasa lebih damai dan rileks. Itu sangat membantu saya dalam mengatasi gangguan panik,'' jelas Verry lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar