Memilih perusahaan asuransi memang tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan. Pasalnya, komitmen yang harus dilakukan tak cukup setahun atau dua tahun saja. Tapi, bisa 10 tahun hingga 30 tahun.
Pun begitu, bagi yang awam soal asuransi pun rasanya tak perlu khawatir. Karena kita bisa percaya asuransi karena ada aturan hukum yang melandasi bagaimana asuransi tersebut beroperasi.
Ligwina Hananto selaku CEO Guantum Magna Financial menjelaskan, ada tiga alasan memilih perusahaan asuransi. Pertama, perusahaan asuransi tersebut harus sehat. Ini bisa dilihat dari laporan keuangan publikasi, atau mudahnya bisa juga mencermati pemeringkatan keuangan perusahaan asuransi yang dibuat beberapa majalah ekonomi.
Kendati belum seratus persen valid, namun pemeringkatan keuangan tersebut bisa menjadi bahan pertimbangan tambahan dalam mempertimbangkan pilihan perusahaan asuransi. Paling tidak melihat data seperti neraca rugi laba, dan rasio-rasio keuangan penting, seperti risk based capital (RBC). Alasan kedua, dari kredibilitas perusahaan asuransi dan selanjutnya menyangkut agen asuransinya.
Pernyataan Ligwina ada benarnya juga untuk dicamkan bagi mereka yang ingin berasuransi. Hanya, sambung Ahmad Gozali, memilih produk dengan cara tepat juga tak boleh dikesampingkan. Karena kalau salah pilih perusahaan asuransi, sejelek-jeleknya kalau perusahaan tersebut bangkrut, otomatis ada kewajiban memindahkan account kita ke asuransi lain.
“Di sini sistem pengawasannya jelas. Yang sering terjadi adalah kita salah memilih produk asuransi. Semisal kita punya produk asuransi, tapi jumlahnya tidak pas, atau parahnya sekali tidak percaya atau tidak punya asuransi. Yang perlu diperhatikan, kita harus tahu dulu kita perlu enggak asuransi tersebut? Kalau perlu asuransi yang seperti apa?” ujar Konsultan Perencana Keuangan dari Safir Senduk & Rekan ini.
Ahmad menjelaskan lagi, asuransi diperlukan pada dasarnya untuk mengantisipasi risiko keuangan. Risiko keuangan bisa terjadi berbagai macam, semisalkan karena meninggal dunia, kecelakaan, sakit, musibah terhadap rumah atau mobil. “Hanya biasanya, saat ini yang paling banyak adalah asuransi mengenai kematian atau asuransi jiwa,” tambahnya.
Lantas siapa yang perlu asuransi jiwa? Menurut Ahmad, sebenarnya adalah dua orang. Pertama, orang yang memberikan nafkah kepada orang lain. Bisa jadi seorang ayah, ibu, atau anak kepada ibu, bapak atau adik-adiknya. Kedua adalah orang yang punya utang. Kenapa?
“Jangan sampai ketika kita meninggal dunia kita meninggalkan utang atau menelantarkan orang yang kita nafkahi. Kalau misalnya Saya punya utang, katakanlah Rp100 juta, tidak mungkin keluarga yang menanggung. Makanya di sinilah asuransi sangat penting,” sarannya.
Kalau pun dibilang akan menambang beban pengeluaran, Ahmad membenarkan. Namun, katanya, asuransi yang dibutuhkan adalah yang murni (asuransi jiwa) saja karena biasanya tidak begitu mahal. Tetapi seiring perkembangan zaman, kini juga sudah mulai banyak ditawarkan asuransi plus investasi.
“Ini bisa jadi memudahkan ketika kita tidak tahu investasi atau malas menabung. Namun, di balik itu ada sisi negatifnya. Semisal kita sebenarnya hanya ingin investasi, terpaksa juga harus beli asuransi sehingga ada pemborosan,” jelasnya.
Pilih Asuransi yang Ideal
Ahmad menjelaskan, untuk asuransi paling ideal sebenarnya bisa dijelaskan bila kita punya uang pertanggungan 200 kali lipat dari penghasilan kita.
“Saya ambil contoh, setiap bulan harus memberi uang belanja kepada istri Rp2 juta, berarti kita harus punya asuransi 200 kali Rp2 juta sehingga menjadi Rp400 juta. Kalau memberi Rp5 juta, otomatis yang dibutuhkan senilai Rp1 miliar. Itulah yang paling ideal. Tapi kalau preminya terlalu mahal atau bera,t silahkan diturunkan mungkin setengahnya. Jika lebih dari itu dikatakan terlalu boros,” jelasnya panjang lebar.
Melihat begitu besar manfaat asuransi tentu tak salah jika ada istilah berasuransi sekaligus berinvestasi. Terutama itu sangat membantu bagi yang tidak mengerti harus berinvestasi di mana dan membantu pula bagi mereka yang tidak punya disiplin untuk berinvestasi.
“Kadang-kadang kita agak berat untuk menabung sebesar Rp500 ribu per bulan. Kalau misalnya ditagih agen asuransi atau perusahaan asuransi pasti kita tidak bisa menolak,” kata Ahmad.
Mengenai pilihan untuk memilih asuransi murni atau yang sistem paket, Ahmad menyarankan,
kalau kita mengerti cara berinvestasi lebih baik kita ambil asuransi jiwa, dan lakukan investasi di tempat lain yang bukan perusahaan asuransi.Sebab, hasilnya lebih tinggi.
Tapi kalau kita tidak mengerti dan malas, lebih baik ambil satu paket biar gampang. Karena risiko menunda-nunda, risiko tidak sempat mengerjakan itu lebih besar.
Memang tidak mudah untuk menanamkan di pikiran agar kita berasuransi. Bahkan yang sering terjadi selama ini adalah orang risih untuk berasuransi. Menurut Ahmad, orang berpandangan negatif terhadap asuransi bisanya karena sebuah hal.
Biasanya, katanya klaimnya susah dan cara agen asuransi dalam menawarkan produk kurang bagus, etikanya tidak bagus, agak terlalu memaksa, dan kurang edukatif.
“Tidak harus kita sikapi negatif. Kita bisa lihat agennya dulu atau lainnya. Kalau kurang cocok, bisa kita tolak dengan sopan,” katanya.
Sementara mengenai klaim yang susah, sambungnya, seharusnya kalau kita mengikuti aturan biasanya pencairan klaim tidak susah.
“Mungkin prosedur ada yang terlewati, ada dokumen yang kurang, atau ketika mengisi formulir di awal ada yang kurang,” katanya.
Pertanyaan perlu tidaknya bagi keluarga baru untuk berasuransi, Ahmad menjelaskan, kita bisa lihat berapa besar risiko kemungkinannya dan akibat yang ditimbulkan.
“Contohnya, kemungkinan Saya meninggal dunia berapa besar. Katakanlah dilihat dari kondisi kesehatan, dan risiko pekerjaan. Kalau kita kerja katakanlah setiap hari sepeda motor, kegemukan, dan punya penyakit keturunan, mending buru-buru berasuransi. Kita tidak berharap ada kejadian tersebut, tapi dari statistik menunjukkkan bahwa itu potensinya tinggi,” paparnya.
Dilihat dari risiko atau dampaknya, dapat dicontohkan, pengantin baru dengan istri tidak bekerja tapi istri berpendidikan, kalaupun ada apa-apa istri bisa cari kerja.
“Katakanlah saya sakit. Tapi kalau kita melihat bahwa ada anak dua atau satu, istri kerepotan kerja dan kalau saya ada apa-apa, mungkin lebih baik kita perlu asuransi,” jelasnya.
Fenomena yang belakangan terjadi, banyak keluarga baru yang salah kaprah. Orangtua punya anak ingin mengasuransikan anaknya. “Anak kan kerja belum, berpenghasilan juga enggak. Yang diasurasikan tetap bapaknya, tapi penerima manfaatnya adalah anak. Kalaupun anak mau asuransi, minimal lewat asuransi kesehatan saja. Alasan ini dipakai karena perusahan tempat orangtuanya tidak menanggung kesehatan dari sang anak,” jelasnya.
Menurut Ahmad, asuransi garis besarnya dibagi menjadi dua, yakni jiwa dan umum. Asuransi jiwa meng-cover kematian. Ada dua macam, murni dan investasi. Lainnya, asuransi kerugian atau umum.
Cakupannya ketika sakit, musibah pada harta asuransi mobil, rumah, kebakaran, banjir, dan lainnya. “Asuransi rumah untuk mengantisipasi kebakaran. Kita bisa jaga-jaga, tapi kalau mengingat tempat tinggal di Jakarta yang berdempetan, rasanya asuransi bisa dipertimbangkan,” tambahnya.
Tapi sebelum mengakhiri obrolan, Ahmad menyarankan untuk tidak tergiur dengan angka-angka yang ditawarkan agen asuransi kali pertama perjumpaan. Sebaiknya ambillah keputusan setelah pulang dan dipelajari lebih lanjut. Kalau oke, baru telepon lagi, dan ketemuan lagi.
“Biasanya yang ditawarkan agen asuransi kali pertama adalah produk unggulan atau yang punya yang banyak komisinya untuk si agen. Nah, itu harus dipelajari dengan seksama. Dan terakhir, pelajari dulu prosedur klaimnya. Ini yang hampir tidak pernah dijelaskan oleh agen pada saat menawarkan. Tanya klaimnya gimana? Pasti si agen bilang, nanti akan saya bantu kalau klaim. Iya kalau dia masih kerja di perusahaan asuransi tersebut. Kalau enggak, pastilah kita yang akan merugi,” tutupnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar