Artikel Cianjur News Headline Animator

Jumat, 12 Oktober 2007

Tak Berdaya Hadapi Diri Sendiri

MENCUCI tangan setelah berjabat tangan dengan orang lain adalah hal wajar.Namun, bagaimana jika dilakukan berulang? Dibuat tak berdaya oleh diri sendiri.

Begitulah kira-kira kondisi orang yang mengalami obsessive compulsive disorder (OCD) atau gangguan obsesi dan kompulsi.Obsesi adalah pikiran, imajinasi,atau dorongan yang terus-menerus dan tidak dapat dikontrol.

Sementara itu, kompulsi merupakan kondisi saat seseorang melakukan aksi secara terus-menerus atau berulang, yang kerap sesuai “peraturan” yang mereka yakini. Normalnya, orang bisa mengendalikan pikiran dan perilakunya melalui sistem yang diproses dalam otak.

Pada orang OCD, ide atau pikiran muncul berulang-ulang, mendesak, tidak lazim,tidak bisa dikendalikan. Akibatnya,yang bersangkutan merasa tidak nyaman. Penderita OCD sendiri sebetulnya tidak menghendaki hadirnya pikiran-pikiran yang kerap tidak realistis tersebut. Dia juga kurang paham mengapa pikiran itu muncul. Namun, dia tidak berdaya karena tidak bisa mengendalikan diri.

Seolah ada dorongan atau “paksaan” yang mengharuskan melakukan tindakan yang tidak dicemas inginkan. Mirip dengan cegukan, kita tak menginginkan tapi tak dapat menolaknya. Itu sebabnya, OCD juga kerap disebut cegukan mental. Celakanya, perilaku itu dilakukan berulang-ulang sehingga timbul kelelahan jiwa dan raga.

“Kecemasan melanda ketika ide atau pikiran itu ditahan dan tidak tersalurkan. Dia menjadi tegang dan cemas,lalu baru lega setelah idenya tersalurkan,” ujar psikiater Sanatorium Dharmawangsa, Jakarta, dr Tun Kurniasih Bastaman SpKJ. Dr Tun, sapaan akrabnya, mencontohkan perilaku yang tergolong OCD, misalkan pada malam hari merasa cemas apakah pintu rumah sudah terkunci dengan baik.

Terdorong rasa dicemas dan penasaran berlebihan, orang tersebut kemudian mengecek berulang untuk memastikan pintu telah terkunci. Namun, tetap saja pikiran itu terbawa hingga ke tempat tidur. “OCD itu merugikan diri sendiri. Sebab, yang bersangkutan menjadi terhambat karena terus mengulang, bolakbalik, tak kunjung selesai sehingga banyak waktu yang terbuang,” ungkapnya.

Ada dua kelompok obsesi dan kompulsi, yakni kelompok gangguan cemas (OCD itu sendiri) serta gangguan kepribadian. Bagi individu yang mengalaminya, OCD terasa sangat menyiksa akibat pengulangan perilaku yang melelahkan secara fisik dan mental.Sementara itu, individu dengan gangguan kepribadian biasanya tidak mengalami masalah, asalkan dia mengikuti “aturan” yang dianut.

Misalkan orang-nya perfeksionis, segala sesuatu harus tepat waktu.Sepanjang dia mengikuti aturan itu, tidak ada masalah. “Namun, jika dia memaksakan kepada orang lain, yang terjadi adalah orang lainnya ikut menderita,”ujar Tun. OCD umumnya terkait kejiwaan. Kepala Departemen Psikiatri FKUI/RSCM dr Irmansyah SpKJ mengatakan,ada berbagai faktor penyebab OCD, antara lain aspek genetik, lingkungan, pengalaman masa kecil.

Sejumlah studi menunjukkan adanya gejala kelainan saraf di otak pada tingkat transmisi biomolekuler yang berfungsi menghantarkan pesan antarsel saraf. Akibatnya, sistem kerja otak terganggu. “Kondisi ini mungkin saja diturunkan secara genetik,”ujar Irmansyah. Seseorang berpeluang lebih besar terkena OCD jika ada anggota keluarganya yang menderita OCD.Namun,menurut Irmansyah, sulit membedakan apakah suatu OCD itu disebabkan faktor genetik ataukah lingkungan.

“Untuk itu, cermati gejalanya. Sebab, penyakit ini sering didiamkan saja dan dianggap hal lumrah. Padahal,mungkin saja perlu pengobatan,”tuturnya. Penanganan OCD jelas memerlukan dukungan mental dari keluarga dan lingkungan sekitar, termasuk dokter.Terapi dilakukan melalui psikoterapi untuk meredakan ketegangan dengan obat-obatan atau kombinasi keduanya.

Terapi perilaku pada anak OCD, misalnya, diberikan melalui pemberian rewardjika dia mampu meredakan ketegangan, bisa mengendalikan atau menghentikan pengulangan.

Bentuk lain adalah terapi modifikasi perilaku dengan cara menjauhkan si OCD dari sarana pemicu. Di samping itu, hampir mirip depresi, ditemukan bahwa pada OCD juga terjadi kekurangan serotonin pada otak.Sebab itu, pengobatan umumnya dilakukan melalui obat-obatan antidepresi. Untuk kasus OCD berat, terkadang ditambahkan obat antipsikotik.

Kombinasi Obat dan Terapi Bicara

DUA hal yang menjadi ciri khas OCD adalah obsesi (pikiran, imajinasi, atau dorongan yang terus-menerus dan tidak dapat dikontrol), serta kompulsi (kondisi saat seseorang melakukan aksi secara terus-menerus atau berulang, yang kerap sesuai “peraturan”yang mereka yakini).

Pengulangan pada OCD tak cukup 2–3 kali, melainkan berkali-kali. Pe n a n g a n a n pasien OCD tidak hanya diupayakan melalui obatobatan. Para peneliti dariAustralia mengungkapkan, terapi bicara (talk therapy) dapat membantu pasien OCD melepaskan diri dari penyakitnya. Penelitian yang dipimpin Ileana Gava dari Klinik Mandala di New South Wales tersebut melibatkan analisis data dari tujuh studi berskala kecil yang dilakukan terhadap 150 pasien OCD.

Kesimpulannya, terapi psikologis yang dikembangkan dari model terapi perilaku kognitif merupakan cara penanganan efektif bagi pasien OCD dewasa. Temuan ini dilaporkan dalam The Cochrane Library edisi April 2007. Berbagai jenis terapi yang diperkirakan efektif bagi OCD juga dikemukakan Carol Mathews MD dari Departemen Psikiatri di Universitas California, San Francisco.

“Antara lain terapi kognitif, terapi perilaku, atau kombinasi keduanya. Baik yang dilakukan secara individual maupun berkelompok,dengan atau tanpa obat-obatan,” ungkapnya. Terapi kognitif bertujuan menjauhkan pasien OCD dari pemikiran obsesif dan membantu mereka untuk m e n y a d a r i bahwa perilaku k o m p u l s i f (yang mengikuti pemikiran obsesif tadi) sesungguhnya tidak mampu mengurangi kecemasan yang mereka rasakan.

Sementara itu, terapi perilaku mencoba menempatkan pasien pada situasi yang mencetuskan pemikiran obsesifnya itu.Kemudian, dilihat bagaimana upaya pasien menghentikan tindakan kompulsi yang mengikutinya. Jika pasien terlihat mulai mampu menoleransi atau mengurangi perilaku kompulsinya, terapi akan ditingkatkan atau ditambah paparannya.

Pada terapi kelompok, Mathews menilai bahwa jenis terapi ini lebih efektif dari segi biaya dibanding terapi individual. Dengan demikian, berpotensi untuk diterapkan sebagai terapi yang dapat menjangkau lebih banyak pasien OCD. “Sebab, lebih murah dan waktunya juga lebih singkat sehingga mudah diterapkan,” pungkasnya.

Kenali Gejala OCD

POLA asuh orangtua konon bisa berpengaruh terhadap kemunculan OCD ringan. Misalnya, orangtua yang terlalu ketat dan disiplin menerapkan aturan bagi anak-anaknya. Berikut beberapa contoh perilaku OCD yang kerap dijumpai:

Merasa cemas apakah sudah mengunci pintu dengan baik sehingga mengecek berulang-ulang.

Cemas dan khawatir apakah sudah mematikan api kompor, lalu mengecek berulangulang.

Berganti baju hingga lebih dari 10 kali setiap kali hendak pergi kerja.

Mencuci alat makan atau baju berkali-kali karena takut tidak bersih atau higienis.

Wudu berjam-jam karena merasa selalu batal.

Ketika sedang mengikuti kuliah di dalam kelas, tibatiba tebersit nama anjing temannya. Dia berusaha mengingat, tapi tak kunjung ingat sehingga merasa terganggu. Ini mendorong dia keluar kelas untuk menelepon temannya dan menanyakan nama anjingnya.Tidak berhenti sampai di situ,beberapa saat kemudian dia menanyakan lagi dan lagi.

OCD ringan:

Seorang anak yang di kelasnya “hobi” mengetukngetuk meja.

OCD ekstrem:

Kalau berjalan atau melangkah di lantai ubin bergaris harus kenabagian garisnya. (inda susanti)

Tidak ada komentar: